Wednesday, 3 September 2025

Krisis Tripoli: Saat Ego Sektoral Mengancam Stabilitas Libya

Konflik bersenjata kembali meletus di Tripoli, Libya, memunculkan kekhawatiran baru tentang masa depan negara yang rapuh ini. Gelombang kekerasan yang terjadi bukan sekadar bentrokan acak, melainkan manifestasi dari pertarungan kekuasaan yang lebih dalam, didorong oleh apa yang banyak pengamat sebut sebagai "ego sektoral" yang menggerogoti setiap upaya perdamaian. 

Eskalasi terbaru ini menyoroti kerapuhan pemerintahan yang diakui secara internasional dan dominasi kelompok-kelompok bersenjata yang bertindak di luar otoritas negara.

Inti dari pertikaian ini adalah perebutan pengaruh antara Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibeh dan Pasukan Pencegahan Khusus (Special Deterrence Force/SDF), salah satu faksi bersenjata terkuat di ibu kota. Meskipun GNU secara teori adalah otoritas sah, mereka harus berhadapan dengan kenyataan bahwa kontrol di lapangan sering kali berada di tangan milisi yang memiliki agenda dan kepentingan sendiri. Konflik ini membuktikan bahwa pengakuan diplomatik tidak selalu setara dengan kekuasaan militer.

Awal dari ketegangan ini bisa ditelusuri kembali ke serangkaian insiden yang menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk mengendalikan semua faksi. Namun, pertempuran paling sengit pecah setelah peristiwa-peristiwa yang memicu konfrontasi langsung, membuktikan bahwa garis tipis antara aliansi dan permusuhan di Libya dapat runtuh dalam sekejap. Pemicu utama seringkali adalah upaya salah satu pihak untuk memperluas wilayah kekuasaan, baik secara politik maupun ekonomi.

Para analis melihat konflik ini bukan sebagai pertarungan ideologi, melainkan sebagai pertarungan murni untuk menguasai sumber daya dan jalur kekuasaan. Bagi Pasukan Pencegahan, pertahanan wilayah dan fasilitas vital yang mereka kuasai—seperti bandara dan pangkalan militer—adalah kunci untuk mempertahankan dominasi mereka.

Kehilangan kendali atas aset-aset ini akan berarti hilangnya pengaruh politik dan, yang lebih penting, hilangnya sumber pendapatan yang besar.

Di sisi lain, Pemerintah Persatuan Nasional Dbeibeh memiliki tujuan yang jelas: memperkuat legitimasinya di mata komunitas internasional dan mengkonsolidasikan kekuasaan. Untuk mencapai tujuan ini, mereka harus menetralkan faksi-faksi yang terlalu kuat dan independen, termasuk Pasukan Pencegahan. Dbeibeh perlu menunjukkan kepada dunia bahwa ia dapat menjamin stabilitas dan keamanan, sebuah prasyarat utama untuk menarik investasi asing, terutama di sektor minyak dan gas.

Ego sektoral ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Setiap kali sebuah faksi merasa kekuatannya terancam, mereka akan kembali ke solusi militer. Hal ini bukan hanya menghancurkan infrastruktur, tetapi juga merusak kepercayaan publik pada setiap upaya untuk membangun negara yang berfungsi. Akibatnya, rakyat sipil terus-menerus hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan, dengan risiko menjadi korban setiap saat.

Perekonomian negara juga menderita. Pertempuran di Tripoli berdampak langsung pada operasional perusahaan minyak dan gas, menghambat produksi dan ekspor. Padahal, kekayaan minyak adalah satu-satunya sumber daya yang bisa digunakan Libya untuk membangun kembali negara. Pertikaian ini secara efektif menyandera potensi ekonomi negara demi kepentingan sekelompok kecil elit.

Di tengah kekacauan ini, komunitas internasional memainkan peran yang kompleks. Meskipun secara umum mereka menyerukan dialog dan gencatan senjata, pengaruh mereka sering kali terbatas. Sebagian besar negara memiliki kepentingan yang berbeda di Libya, yang terkadang bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas yang sejati.
Namun, beberapa negara telah mengambil langkah lebih tegas. Turki, misalnya, adalah aktor kunci yang memiliki pengaruh signifikan di lapangan. Ankara telah menjalin hubungan dekat dengan Pemerintah Persatuan Nasional dan Pasukan Pencegahan, dan investasi mereka yang besar dalam pelatihan militer dan pasokan senjata membuat mereka memiliki pengaruh yang tak terhindarkan dalam konflik.

Turki secara publik menentang eskalasi konflik bersenjata dan menekan semua pihak untuk kembali ke meja perundingan. Penentangan ini bukan sekadar pernyataan kosong; hal itu didukung oleh hubungan strategis mereka dengan kelompok-kelompok yang bertikai. Turki memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas di Libya, terutama untuk melindungi investasi mereka dan mempertahankan pengaruhnya di kawasan Mediterania.

Dengan menekan pihak-pihak yang didukungnya, Turki berharap dapat mendorong de-eskalasi dan mencegah perang skala penuh yang dapat mengancam semua pencapaian yang telah dibuat sejak gencatan senjata sebelumnya. Mereka menyadari bahwa perang yang berkepanjangan akan merusak kepentingan mereka sendiri dan membuka pintu bagi kekuatan regional lain untuk memperluas pengaruh mereka.
Posisi Turki menunjukkan bahwa di lingkungan politik Libya, pengaruh datang dari kekuatan nyata di lapangan, bukan hanya dari kata-kata diplomatik. Intervensi mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah menjadi faktor penentu dalam menyeimbangkan kekuatan militer dan mendorong para pemimpin untuk mempertimbangkan kembali opsi mereka.

Meski demikian, tidak ada jaminan bahwa tekanan internasional akan berhasil. Selama ego sektoral tetap menjadi kekuatan pendorong di balik keputusan setiap faksi, setiap gencatan senjata atau perjanjian politik akan selalu berada di bawah ancaman. Tanpa komitmen tulus dari semua pihak untuk mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, Libya akan terus terperosok dalam kekerasan.

Mengamankan Perdamaian di Tripoli: Tantangan dan Solusi

Untuk mencapai kesepakatan damai antara Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) dan Pasukan Pencegahan di Tripoli, dibutuhkan pendekatan yang komprehensif, tidak hanya mengandalkan kekuatan militer. Proses ini harus menggabungkan dialog politik, reformasi keamanan, dan pengakuan terhadap kepentingan kedua belah pihak. Tanpa strategi yang jelas, stabilitas di ibu kota akan terus terancam oleh "ego sektoral" yang berulang.

Mendorong Dialog dan Pengakuan

Langkah pertama menuju perdamaian adalah membuka jalur komunikasi yang kredibel. Pemerintah GNU harus mengakui Pasukan Pencegahan sebagai pemain kunci di lapangan, bukan sekadar milisi yang harus ditundukkan. Pengakuan ini bisa dimulai dengan dialog langsung antara Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibeh dan Komandan Pasukan Pencegahan, Abdul Rauf Kara. Tujuan dari dialog ini adalah untuk mengidentifikasi dan menangani akar penyebab konflik, termasuk ketidakpercayaan dan perebutan sumber daya. Kesepakatan damai yang tulus hanya dapat tercapai jika kedua belah pihak merasa kepentingan mereka didengar dan diakomodasi.

Reformasi Sektor Keamanan

Elemen kunci dalam mencapai kesepakatan damai jangka panjang adalah reformasi sektor keamanan (SSR). Saat ini, Pasukan Pencegahan berfungsi sebagai entitas yang kuat dan otonom, yang berada di luar kendali militer dan politik pemerintah pusat. Untuk mengintegrasikan mereka ke dalam struktur negara, pemerintah bisa menawarkan program integrasi di mana personel Pasukan Pencegahan dapat menjadi bagian dari Pasukan Khusus, kepolisian, atau unit keamanan nasional yang lebih besar. Sebagai gantinya, Pasukan Pencegahan harus bersedia menyerahkan kontrol mereka atas fasilitas strategis seperti Bandara Mitiga dan pangkalan militer. Proses ini harus dilakukan secara bertahap dan dengan jaminan yang kuat, agar tidak ada pihak yang merasa ditinggalkan atau dikhianati.

Solusi Ekonomi dan Politik

Ego sektoral di Tripoli sebagian besar didorong oleh motif ekonomi. Kontrol atas fasilitas penting memberikan akses kepada pendapatan dan sumber daya yang berharga. Untuk memitigasi hal ini, kesepakatan damai harus mencakup pembagian kekuasaan politik dan keuntungan ekonomi yang adil. Ini bisa berupa jaminan posisi penting bagi pemimpin Pasukan Pencegahan dalam pemerintahan atau badan keamanan, serta jaminan akses yang sah terhadap pendanaan. Dengan begitu, Pasukan Pencegahan tidak perlu lagi mengandalkan kontrol ilegal untuk mempertahankan kekuatan finansial mereka. Tujuan akhirnya adalah mengubah dinamika dari pertarungan kekuasaan menjadi kemitraan yang saling menguntungkan dalam mengelola negara.

Peran Komunitas Internasional

Meskipun fokus utama harus pada pihak-pihak Libya, komunitas internasional dapat memainkan peran penting sebagai penjamin kesepakatan. PBB dan negara-negara lain yang memiliki pengaruh harus bertindak sebagai mediator yang netral dan memberikan tekanan diplomatik yang diperlukan agar semua pihak mematuhi perjanjian. Mereka juga dapat menawarkan dukungan finansial dan teknis untuk program reformasi sektor keamanan, memastikan bahwa proses integrasi berjalan lancar. Namun, peran mereka harus hati-hati dan tidak memihak, agar tidak memperburuk ketidakpercayaan yang sudah ada.


0 comments:

Post a Comment