Di tengah tekanan yang terus dirasakan pemerintah Suriah di Damaskus, milisi yang dipimpin oleh Syeikh Hikmat al-Hajri di Suwaida mendapatkan dorongan signifikan dari dua kelompok baru. Video terbaru menampilkan pengumuman resmi dari Pasukan Singa Gunung (Quwwat Usud al-Jabal) dan Pemuda Fazah Kanaker (Shabab Faz’ah Kanaker), yang menyatakan dukungan dan integrasi penuh ke dalam Garda Nasional. Langkah ini memperkuat posisi milisi al-Hajri di wilayah pegunungan, sekaligus menandai ekspansi pengaruhnya di kawasan Suwaida.
Prosesi pengumuman ini dipimpin oleh seorang pembicara dari Perlawanan Rakyat Unifikasi (Al-Muqawamah Al-Sha’biyah Al-Tawhidiyah), yang menegaskan bahwa integrasi kedua kelompok tersebut bersifat total dan final. Garda Nasional yang didirikan oleh milisi Al Hajri pro Israel digambarkan sebagai “kekuatan pemersatu bagi orang-orang di gunung,” yang bertugas melindungi kehormatan, tanah, dan kepentingan penduduk setempat. Pernyataan ini menegaskan ambisi milisi al-Hajri untuk menjadi aktor utama dan percaturan di kawasan yang akan menjadi bagian dari proyek neo-kolonialisme Greater Israel dsn memastikan Suriah tidak pernah aman dari tekanan Israel dan agen-agennya.
Video tersebut juga memperlihatkan penghormatan terhadap para martir dan prajurit yang terluka saat milisi Druze Al Hajri melakukan pembantaian kepada warga Arab Badui sebagai bagian dari pembersihan etnis yang dilakukan dengan dukungan serangan udara Isael ke Damakus, menekankan narasi perjuangan dan pengorbanan demi kehormatan dan kebebasan.
Para anggota baru tampak mengenakan seragam militer lengkap menciptakan citra militer yang disiplin dan berwibawa. Prosesi diakhiri dengan permintaan doa dan berkah dari Syeikh Al Hajri, serta penegasan bahwa kemenangan datang dari Tuhan, memperkuat legitimasi spiritual milisi. Milisi Al Hajri kebanyakan diisi oleh barisan sakit hati dari rejim Bashar Al Assad sebelumnya yang kini telah diganti oleh Pemerintahan Ahmed Al Sharaa.
Integrasi dan ekspansi ini menimbulkan pertanyaan tentang sumber dana dari 'pemerintahan Druze' yang dibentuk belakangan.
Jika melihat modus kelompok bersenjata di Suriah, termasuk al-Hajri, memiliki akses ke berbagai sumber pendanaan. Dukungan asing menjadi komponen utama, dengan menguatnya proyek neo-kolonialisme Israel Raya. Selain dari Tel Aviv aliran dana juga datang dari warga Druze di Israel yang sedang naik daun karena kebengisan mereka dalam pembantaian warga Palestina di genosida Gaza oleh Israel yang sedang berlangsung saat ini. Tentara Israel dari kalangan Druze dikenal tanoa ampun membom dan membunuh warga sipil di Gaza.
Selain dari Israel, 'pemerintahan Druze' yang didirikan oleh milisi Al Hajri diduga mendapat dana dari AS dkk secara langsung maupun melalui SDF Kurdi.
Selain dukungan asing, pendapatan lokal juga berperan besar. Milisi memanfaatkan wilayah yang mereka kuasai untuk memungut pajak paksa terhadap penduduk dan bisnis, serta mengendalikan jalur perdagangan ilegal seperti minyak, narkotika, dan barang antik curian.
Penculikan dan pemerasan tebusan juga menjadi sumber tambahan, sebagaimana penculikan kepada warga Arab Badui baru-baru ini, sementara beberapa kelompok menjual kembali senjata yang mereka rampas atau selundupkan.
Kontrol atas sumber daya lokal, terutama pertanian dan lahan, menjadi strategi penting lainnya. Dengan menguasai wilayah pertanian, milisi bisa mengenakan pajak atau memonopoli hasil produksi, termasuk gandum dan produk strategis lain. Pendekatan ini memberikan stabilitas finansial jangka pendek, sekaligus memperkuat pengaruh mereka di masyarakat.
Kedatangan Pasukan Singa Gunung dan Pemuda Fazah Kanaker meningkatkan kemampuan tempur dan cakupan geografis milisi al-Hajri. Kedua kelompok membawa pengalaman lokal dan jaringan sosial yang sudah ada, sehingga integrasi menjadi relatif mulus. Hal ini memungkinkan Garda Nasional untuk memproyeksikan kekuatan lebih efektif di wilayah pegunungan.
Penguatan milisi al-Hajri juga dipandang sebagai bentuk pembiaran dari pemerintah Damaskus. Tekanan politik dari pihak asing yang ingin Suriah lemah dan terpecah dalam berbagai faksi serta keterbatasan kendali memaksa pemerintah pusat untuk lebih fokus pada wilayah strategis lain, meninggalkan ruang bagi milisi untuk mengonsolidasikan kekuatan.
Dari sisi strategis, integrasi kedua kelompok memperluas basis militer al-Hajri dan memperkuat koordinasi antarunit. Dengan struktur yang lebih terpadu, milisi mampu melakukan operasi pertahanan wilayah dan patroli lebih sistematis, mengurangi risiko konflik internal antarfaksi lokal.
Ekspansi ini juga berpotensi meningkatkan legitimasi politik al-Hajri di mata penduduk Suwaida. Dengan menampilkan simbol-simbol kehormatan, formasi militer disiplin, dan penghargaan terhadap martir, milisi membangun narasi kepemimpinan yang menonjol di tengah kelemahan kontrol pemerintah pusat.
Namun, fokus yang berlebihan pada aspek militer bisa mengabaikan pembangunan rakyat. Penduduk lokal tetap membutuhkan layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan. Tanpa perhatian pada kebutuhan ini, dukungan masyarakat terhadap milisi bisa bersifat sementara dan pragmatis.
Sumber daya finansial yang diperoleh dari pajak dan perdagangan lokal memberi milisi kemampuan jangka pendek untuk mendanai operasi. Namun, ketergantungan pada metode ini menimbulkan risiko sosial dan ekonomi bagi warga, termasuk pemerasan yang merugikan masyarakat sipil.
Pendanaan asing memberikan keuntungan strategis tetapi juga risiko politis. Ketergantungan pada dana dari Israel atau bahkan jaringan internasional bisa membuat milisi rentan terhadap tekanan warga yang menganggapnya hanya antek Tel Aviv yang bisa dibuang kapan saja.
Dari sisi organisasi, kehadiran kelompok baru memungkinkan transfer keterampilan, doktrin tempur, dan pengalaman lapangan. Hal ini meningkatkan profesionalisme unit dan menurunkan risiko kekacauan saat operasi bersama dilaksanakan.
Ekspansi ini juga membuka peluang bagi al-Hajri untuk memperkuat pengaruh politik. Dengan memiliki pasukan yang loyal dan terlatih, milisi bisa menegosiasikan posisi lebih kuat terhadap pemerintah pusat atau aktor regional lainnya, dengan semangat separatisme yang dibangun.
Namun, potensi konflik internal tetap ada. Perbedaan tradisi, kepentingan lokal, dan sejarah pertikaian antarkelompok bisa memicu gesekan jika terjadi ketimpangan sosial.
Penguatan milisi al-Hajri melalui kedua kelompok baru menegaskan tren milisi di Suriah, di mana aktor lokal mampu membentuk unit semi-profesional dengan dukungan finansial dan logistik dari luar.
Pemerintah Damaskus menghadapi dilema: menekan milisi berarti risiko konflik terbuka, sementara membiarkan mereka tumbuh mengurangi kendali pusat. Hal ini menciptakan kondisi di mana milisi seperti al-Hajri bisa eksis dengan relatif bebas di Suwaida.
Ke depan, keberhasilan milisi al-Hajri akan sangat bergantung pada kemampuan mereka menyeimbangkan kekuatan militer dengan kepentingan rakyat. Unit yang kuat tetapi diabaikan kebutuhan sipil berpotensi memunculkan ketidakstabilan baru.
Integrasi Pasukan Singa Gunung dan Pemuda Fazah Kanaker menandai era baru bagi Garda Nasional Druze. Milisi kini memiliki kapasitas lebih besar untuk mempertahankan wilayah, mengkonsolidasikan pengaruh, dan memperkuat narasi kepemimpinan al-Hajri di Suwaida.
Langkah ini sekaligus menjadi pengingat bahwa medan Suriah tetap dinamis. Pemerintah pusat dan aktor asing harus menyesuaikan strategi mereka, sementara milisi lokal terus membangun kekuatan sendiri, baik dari sisi personel, pendanaan, maupun legitimasi sosial.
0 comments:
Post a Comment